Hadrotusyaikh Sulaiman bin Sahlan Q.S.
Ada 3 (tiga) tingkatan ma’rifat: Pertama, ma’rifatnya orang awam: yaitu
ma’rifat kepada Allah dengan bersyahadat. Kedua, ma’rifatnya para filosof dan ulama: yaitu ma’rifat kepada Allah
dengan logika akal dan ilmu serta dalil-dalil, baik dari dalil al-Qur’an maupun
al-Hadist (baru pada tingkat, katanya-katanya dan katanya). Ketiga, yaitu
ma’rifatnya kepada Allah para wali Allah dengan merasakan di dalam Qolbi
Sanubari al Hakiki Arruhani. Ma’rifat kepada Allah pengertian pertama dan kedua
belum merupakan ma’rifat yang hakiki kepada Allah. Keduanya masih berada di
dalam wilayah ilmul yakin dan ainul yakin. Ma’rifat menurut pengertian yang
ketigalah yang merupakan ma’rifat kepada Allah yang hakiki dan inilah yang
disebut dengan ma’rifatnya para wali Allah yang ma’rifat kepada Allah secara
hakkul yakin bukan hanya ma’rifat dari sisi ilmul yakin dan ainul yakin saja,
tetapi bahkan sampai dengan merasakan dengan yang sebenar-benarnya. Tidak bisa
disebut mengenal dengan sebenar-benarnya sebelum bisa merasakan dengan sebenar-benarnya.
Ada 3 (tiga) Latifah yang fungsinya untuk berkomunikasi dengan Allah: yaitu pertama Latifah Qolbi Sanubari; kedua Latifah Ruuhi; dan ketiga Latifah Sirri. Adapun Latifah Qolbi Sanubari berfungsi untuk mengenal Allah, Latifah Ruuhi berfungsi untuk mencintai Allah, dan Latifah Sirri berfungsi untuk memandang Allah. Latifah Sirri lebih halus daripada Latifah Ruuhi dan Latifah Ruuhi lebih halus daripada Latifah Qolbi Sanubari.
Latifah Qolbi Sanubari tempatnya di bawah susu kiri berjarak sekitar 2
jari-jari agak kesebelah kiri; Latifah Ruuhi tempatnya di bawah susu kanan
berjarak sekitar 2 jari-jari agak kesebelah kanan; Latifah Sirri tempatnya di
bawah Latifah Qolbi Sanubari berjarak sekitar 2 jari-jari agak kesebelah
kiri;
Ketika Latifah Qolbi Sanubari dapat memandang Allah; lenyap dari segala sesuatu
yang lain selain Allah ketika nampak Allah; yang hal ini menggambarkan
betapa dekatnya hubungan seorang hamba dengan Rabnya; yang bisa juga
dikatakan sebagai mengenal Allah dari dekat, itulah Ma’rifat.
Kalau mahabbah menggambarkan kedekatan hubungan seorang hamba dengan
Rabnya dalam bentuk cinta, ma’rifat menggambarkan kedekatan hubungan
seorang hamba dengan Rabnya di dalam Qolbi Sanubari. Artinya, seorang hamba
yang telah mencapai tingkat ma’rifat, ia berada dan mersakan begitu dekat
dengan Rabnya. Oleh karena itu, para wali Allah mengatakan: “kalau mata yang
di hati terbuka, maka mata yang di kepala tertutup, lalu ketika itu yang
dilihatnya hanyalah Allah; jika seorang wali Allah melihat ke cermin, maka yang
dilihatnya hanyalah Allah. Yang dilihat seorang wali Allah dikala tidur maupun dikala
terjaga atau bangun hanyalah Allah“.
Ma’rifat yang berkenaan dengan hakikat tentang Allah bukanlah pengetahuan
mengenai kemahaesaan Allah yang diimani oleh orang mukmin biasa, akan tetapi ilmu
mengenai sifat-sifat Allah yang wahdaniyyat yang khusus bagi para wali
Allah, karena mereka para wali Allah sajalah yang menyaksikan Allah dengan Qolbi
Sanubari Al Hakiki Arruhani. Mereka para wali Allah itu mengenal dan melihat
Allah dengan kasaf yang tidak dimiliki oleh hamba-hamba Allah selain wali Allah.
Ma’rifat yang hakiki, khusus diberikan oleh Allah kepada para waliNya,
sebab hanya para waliNya-lah yang
sanggup menerimanya, setelah mereka berhasil melewati maqam demi maqam. Ma’rifat
hakiki seperti ini dimasukkan oleh Allah ke dalam Qolbi Sanubari Al Hakiki
Arruhani seorang hamba yang dicintaiNya yang kemudian Allah membuat Qalbi
Sanubari mereka penuh cahaya ketuhanan. Ada ungkapan wali Allah :
“Aku melihat Allah dengan Allah dan sekiranya bukan karena Allah aku
tidak akan bisa melihat Allah ”.
Latifah Qolbi Sanubari disini bukanlah
jantung dalam bahasa Indonesia atau heart dalam bahasa Inggris. Latifah
Qolbi Sanubari disini adalah Latifah yang berfungsi sebagai alat untuk merasakan
juga sekaligus merupakan alat untuk berfikir; suatu pekerjaan yang tidak dapat dilakukan
oleh jantung atau hati; Ini berbeda dengan ‘Akal, sebab Latifah Qolbi Sanubari dapat
mengetahui hakekat segala yang ada dan bila Latifah Qolbi Sanubari menerima
limpahan cahaya dari Allah, ia akan dapat mengetahui rahasisa-rahasia Allah,
suatu hal yang tak dapat dicapai oleh ‘Akal.
Proses memperoleh ma’rifatnya wali Allah yang ahli ma’rifat adalah dengan latihan yang terus menerus atau
mujahadah dan riadoh yang disertai dengan holwat dan nguzlah atau menyendiri,
yaitu menyendirikan diri di tempat sepi sebagai upaya latihan awal untuk
menyendirikan diri dari selain Allah.
Sewaktu Latifah Qolbi Sanubari dan Latifah Ruuhi seorang wali Allah
yang ahli ma’rifat yang telah suci
sesuci-sucinya dan telah kosong sekosong-kosongnya dari segala hal yang dapat
mengganggu, tibalah saatnya bagi seorang wali Allah yang ahli ma’rifat menangkap cahaya Allah yang diturunkan oleh
Allah kepada hambaNya yang dipilih dan dikehendakiNya. Dan dikala seorang wali
Allah menerima cahaya yang diturunkan oleh Allah melalui Latifah Sirri yang
diperolehnya, maka yang dilihat oleh seorang wali Allah yang yang ahli ma’rifat
tersebut hanyalah Allah dan sampailah ia
pada ma’rifat yang hakiki atau yang disebut dengan wusul ilalloh – sampai
kepada Allah atau bertemu dengan Allah. Makin banyak wali Allah memperoleh
ma’rifat yang hakiki ini, makin banyak ia mengetahui rahasia-rahasia Allah dan
makin dekatlah ia kepada Allah.
Walaupun seorang wali Allah yang ahli ma’rifat yang sudah sedemikian dekatnya dengan Allah,
namun tidak akan bisa memperoleh ma’rifat secara penuh atau sempurna, karena
manusia bersifat terbatas, sedang Allah bersifat tidak terbatas. Semisal cangkir
teh tak akan mungkin bisa menampung semua air yang ada di laut. Manusia,
termasuk di dalamnya para wali Allah adalah makhluk yang terbatas kemampuannya.
Oleh sebab itu, seorang wali Allah yang ahli ma’rifat yang adalah manusia juga yang sifatnya
terbatas itu tidak akan mungkin mampu mengetahui
hakikat ketuhanan secara penuh dan sempurna. Ma’rifat semacam inilah
yang membuat tasawuf diperbolehkan bagi ahli syariat dhohir. Jika tidak, kaum
syariat dhohir akan melarang hal-hal yang berhubungan dengan tasawuf, sebab
dipandang menyeleweng dari ajaran Islam.
kunci:
istiqomah amal sebelas dan tawajuhan
hari selasa agar bisa wusul